Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad mengungkap kejanggalan di balik gagalnya penggeledahan Kantor DPP PDIP. Abraham Samad menyebut sebelum adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK, penggeledahaan selalu dilakukan bersamaan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Diketahui, KPK belum lama ini mengungkap kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI terpilih 2019 2020.
Kasus tersebut terungkap setelah Komisioner KPU, Wahyu Setiawan terjaring OTT KPK. Tak hanya itu, kasus terebut juga menyeret Politisi PDIP Harun Masiku yang kini tengah jadi buronan KPK. Melalui akun Twitter @AbrSamad, Minggu (12/1/2020), Abraham Samad mengungkap kejanggalan di balik kasus tersebut.
Ia menyebut penggeledahan yang dilakukan terpisah dari OTT baru terjadi pada kasus ini. Tujuan penggeledahan itu agar menemukan bukti hukum secepat2nya. Itulah mengapa sebelum ini, OTT dan geledah itu selalu barengan waktunya. *ABAM, " tulisnya.
Tak hanya itu, Abraham Samad juga menyebut hal ini baru terjadi sepanjang sejarah KPK. "Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan berhari2 pasca OTT," tulis Abraham Samad. Melalui akun Twitter nya, Abraham Samad kembali menuliskan cuitan.
Ia menganggap OTT yang tak disertai penggeledahan justru bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Abraham Samad menilai lamanya jarak waktu antara OTT dan penggeledahan memungkinkan pihak terkait untuk menghilangkan barang bukti. OTT yg tdk disertai penggeledahan pada waktunya, tdk saja menyimpang dari SOP, tp membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain.
Ini sama dgn memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak. *ABAM ," tulis Abraham Samad. Sementara itu, pasca gagal menggeledah kantor DPP PDIP pada Kamis (9/1/2020), hingga Senin (13/1/2020), KPK belum melakukan penggeledahan lebih lanjut. Dikutip dari Kompas.com, Ketua KPU Arief Budiman juga mengungkapkan tak ada rasa curiga pada Wahyu Setiawan.
"Tidak (curiga)," ucap Arief Budiman, saat konferensi pers bersama KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020). Ia pun menyatakan pihaknya meminta maaf pada masyarakat atas kasus yang menjerat Wahyu Setiawan. "Atas kejadian ini tentu kami sangat prihatin," ungkap Arief Budiman.
"Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar besarnya pada seluruh masyarakat Indonesia," imbuhnya, Arief Budiman mengaku sama sekali tidak tahu, bagaimana Wahyu Setiawan bisa 'bermain' sehingga jadi tersangka suap penetapan anggota DPR 2019 20204. "Saya tidak tahu bagaimana dia main," kata dia.
Arief Budiman menyebut, penetapan anggota DPR melalui mekanisme KPU selalu dilakukan dalam rapat pleno KPU bersama partai politik. Ia pun tak ingat apakah di rapat pleno pergantian antar waktu (PAW) pada Selasa (7/1/2020), Wahyu Setiawan mendorong agar politisi PDIP Harun Masiku ditetapkan jadi DPR atau tidak. "KPU dalam membuat keputusan bersandarkan pada regulasi yang ada," tuturnya.
"Jadi kami memutuskannya dalam rapat pleno dan tentu rujukannya jelas peraturan perundang undangan," sambung dia. Meski demikian, hingga kini Harun Masiku belum ditangkap, lantaran kabur dan tak diketahui keberadaannya. Oleh karena itu, KPK meminta agar Harun Masiku segera kooperatif dan menyerahkan diri.
Dalam kasus ini, KPK menduga bahwa Wahyu Setiawan bersama anggota Baswaslu Agustiani Tio Fridelina menerima suap dari Harun Masiku, serwa seorang swasta bernama Saiful. Suap senilai Rp 900 juta itu diduga diberikan agar Harun Masiku ditetapkan KPU sebagai anggota DPR RI, menggantikan caleg terpilih PDIP, Nazarudin Kiemas. Diketahui, Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada Maret 2019.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani disangka melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sementara Harun dan Saeful dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.